“Propil sebaran vertical nutrient”
Pola sebaran vertikal nutrien menunjukan interaksi
terhadap proses fisik, sumber, dan pemanfaatannya di kolom
perairan.nitrat,pospat dan silikat merupakan komponen makro nutrient yang
keberadaannya sangat dibutuhkan oleh organism dilaut seperti Fitoplankton
(chaster 1993) sedang
mikronutrien dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil. Elemen makro lebih
dibutuhkan untuk komponen struktural, sedang elemen mikro lebih mengarah untuk
komponen fungsional yaitu;mangan,boron,tembaga,khlor,molipdenum,dan zeng.nutrien
tersebut mengalami proses yang sangat kompleks baik pada lapisan
tercampur,lapisan termoklin maupun lapisan dalam dan kaera sifat-sifatnya,masing-masing
nutrient mempunyai respon yang berbeda-beda dalam proses-proses dilaut (Hamjah
2016 ;Libes 1992).secara fisik,nutrient juga akan mengalami persebaran akibat
sirkulasi masa air,sihingga keberadaannya berbeda secara geografis.setiap nutrient
yang terkandung didalamnya juga akan berintereaksi dengan material
lainnya.interaksi tersebut menunjukan system keseimbangan setiap unsure dilaut.Tinggi
rendahnya nutrient di suatu perairan juga dapat dipengaruhi/terjadinya
pengangkatan unsur hara dari badan air maupun
dari dasar suatu perairan kepermukaan air/sering disebut dengan Upwelling.
Laju
produksi primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika
antara lain:
1.Upwelling
Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator.
Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987), Selatan Jawa dan Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor (Tubalawony, 2000).
Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dan Laut Aru diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Musim Timur, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Musim Barat. Pada saat ini di Laut Banda tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Di perairan Banda (Vosjan and Nieuwland, 1987) pada Musim Timur terdapat 2 (dua) periode “bloom” fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan kedua di bulan Agustus/September. Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi distribusi klorofil-a di Laut Banda pada fase akhir di bulan September diperoleh bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian timur Laut Banda, khususnya di sekitar Pulau Kei dan Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60% dari klorofil-a tersebut berada pada kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada Musim Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim Barat sekitar 0,18 mm/l.
1.Upwelling
Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator.
Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987), Selatan Jawa dan Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor (Tubalawony, 2000).
Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dan Laut Aru diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Musim Timur, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Musim Barat. Pada saat ini di Laut Banda tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Di perairan Banda (Vosjan and Nieuwland, 1987) pada Musim Timur terdapat 2 (dua) periode “bloom” fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan kedua di bulan Agustus/September. Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi distribusi klorofil-a di Laut Banda pada fase akhir di bulan September diperoleh bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian timur Laut Banda, khususnya di sekitar Pulau Kei dan Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60% dari klorofil-a tersebut berada pada kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada Musim Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim Barat sekitar 0,18 mm/l.
2. Percampuran Vertikal Massa Air Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan kolom perairan yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa masukan nutrien terutama untuk mengoptimalkan konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan secara relatif meningkatkan produksi baru.Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi oleh tiupan angin. Pada saat Musim Timur di perairan Indonesia bertiup angin Muson Tenggara yang mengakibatkan sebagian besar perairan Indonesia Timur mengalami pergolakan yang mengakibatkan terjadinya percampuran massa air secara vertikal. Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran vertikal massa air di perairan lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal. Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam kolom perairan umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian lain dari perairan Laut Timor.
3. Percampuran Massa Air secara HorisontalSistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola sirkulasi massa air di Perairan Indonesia. Sistem ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa air yang berbeda di suatu perairan. Misalnya pada saat Musim Timur, massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut Banda yang mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin muson tenggara terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya terjadi pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan. Tingginya produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah asal dimana massa air di peroleh. Nontji (1974) dalam Monk et al. (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama Musim Barat, dan 0,21 mg/m3 selama Musim Timur.Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan termoklin sangat mendukung tingginya laju produktivitas produksi primer. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktivitas primer. Lapisan termoklin yang dangkal lebih berperan dalam menunjang produktivitas perairan. Karena pada saat terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin lebih mudah mencapai lapisan permukaan tercampur jika dibandingkan dengan lapisan termoklin yang lebih dalam. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian batas atas lapisan termoklin. Matsuura et al. (1997) dari hasil pengamatannya di timur laut Lautan Hindia mendapatkan bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dengan konsentrasi maksimum terdapat pada kedalaman kira-kira 75 – 100 m. Sedangkan Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa konsentrasi maksimum klorofil-a di perairan selatan Pulau Jawa – Bali berada pada kedalaman 20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim Barat. Umumnya kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan termoklin.
A
. Distribusi Vertikal Nutrient.
1. Distribusi Fosfor
Distribusi vertikal fosfor dapat
dikelompokkan menjadi tiga lapisan. Lapisan permukaan mengandung kadar fosfor
yang minimal karena penyerapan yang tinggi akibat tingginya produksi organik.
Di lapisan kedua, yang mencapai beberapa ratus meter, kadar fosfor menaik
dengan cepat, karena penyerapan unsur kimia ini mengurang disebabkan oleh
berkurangnya kegiatan pembentukan zat organik dan karena di lapisan ini pelepasan fosfor melalui proses pembusukan.
Pada lapisan ketiga di bawahnya yang mencapai antara 500-1000 m, kadar fosfor
maksimal, kemudian ada penurunan kadar fosfor pada lapisan dasar perairan yang
pekat.
Selain itu juga terjadi sebaran
temporal atau menurut waktu. Yang terpendek adalah sebaran siang-malam (diurnal) dan nyata sekali perairan
pantai. Ini terkait dengan penyinaran matahari dan proses fotosintesis. Pada
siang hari, kadar fosfor minimum karena diserap oleh tumbuh-tumbuhan. Ia
mencapai maksimum menjelang fajar, setelah jangka waktu lama, yaitu pada malam
hari, saat tidak terjadi fotosintesis. Perubahan musiman dalam kadar fosfor
juga terjadi. Ini terkait dengan sebaran lintang geografik. Di daerah beriklim
sedang, di mana terdapat empat musim, kadar fosfor maksimum terjadi di musim
dingin, di saat malam lebih panjang daripada siang. Sebaliknya terjadi pada
musim panas.
2. Distribusi Nitrogen
Pola sebaran nitrogen di tiga
samudra tidak berbeda dari fosfor. Hanya kadar keseluruhannya yang berbeda.
Kurva sebaran menegak di ketiga samudra pun tidak berbeda. Sebaran menegak dari
bentuk-bentuk gabungan nitrogen berbeda di perairan. Nitrat terbanyak terdapat
di lapisan permukaan, ammonia tersebar secara seragam, dan nitrit terpusat
dekat termoklin. Interaksi-interaksi antara berbagai tingkat nitrogen organik
dan bakteri sedemikian rupa sehingga pada saat nitrogen diubah menjadi berbagai
senyawa anorganik, zat-zat ini sudah tenggelam di bawah termoklin. Hal ini
menimbulkan masalah bagi penyediaan nitrogen karena termoklin merupakan
penghalang bagi migrasi menegak unsur ini dan kenyataanya persediaan nitrogen
akan menjadi faktor pembatas bagi produktivitas di laut. Didaerah dengan
termoklin musiman, pada saat gejala tersebut menghilang, penaikan massa air
membantu menaikkan nitrogen ke lapisan permukaan, di mana matahari menembus dan
dapat digunakan dalam daur organik. Sebaran temporal dan spasialnya umumnya
paralel dengan fosfor.
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi
Distribusi Nutrien
Kesuburan dalam suatu perairan
sangat ditentukan oleh parameter parameter berikut :
A. Faktor Fisika
Cahaya
Cahaya yang mencapai permukaan bumi dan
permukaan perairan
terdiri atas cahaya langsung (direct) berasal dari matahari dan cahaya yang
disebarkan (diffuse) oleh awan (yang sebenarnya juga berasal dari cahaya
matahari). Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi
oleh awan, ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis, dan musim.
Penetrasi cahaya ke dalam air sangat di pengaruhi oleh intensitas dan sudut
datang cahaya, kopndisi permukaan air, dan bahan-bahan tersuspensi di dalam
air. Cahaya matahari mencapai permukaan perairan tersebut sebagian di serap dan
sebagiannya direfleksikan kembali. Beberapa jenis molekul, misalnya O2, O3,
H2O, dan CO2 dapat menyerap cahaya matahari , dan mengubahnya menjadi energi
panas.
Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh
musim, lintang, ketinggian dari permukaan air, waktu dalam hari, sirkulasi
udara, penutupan awan , dan aliran serta kedal;aman badan air. Perubahan suhu
berpengaruh terahadap proses fisika, kimia, dan bioologi badan air. Suhu juga
sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik
memiliki kisaran suhu tertentu yang di sukai bagi pertumbnuhannya. Misalnya,
algae dari filum coloropita dan diatom tumbuh dengan baik dengan kisaran suhu
berturut-turut 30°C- 35°C dan 20°C-30°C. Filum cyanopehyta lebih dapat
bertoleransi terhadap kisaran suhu yang l;ebih tinggi dibandingkan dengan
chloropyta dan diatom.
Kecerahan Dan Kekeruhan
Kecerahan air tergantung pada warna dan
kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan
secara visual dengan menggunakan secchi disk. Faktor ini berhubungan dengan
penetrasi cahaya. Kecerahan perairan tinggi berarti penetrasi cahaya yang
tinggi dan ideal untuk memicu produktivitas perairan yang tinggi pula.
kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter-parameter yang saling terkait satu
sama lain. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi sebanding dengan
peningkatan konsentrasi kekeruhan dan berbanding terbalik dengan kecerahan.
Ketiga parameter tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam
produktivitas perairan.
Kedalaman
Faktor ini juga sangat berhubungan
dengan kesuburan suatu perairan, dan mengikat semua faktor parameter lain, hal
ini karena semakin dalam suatu perairan maka suhu semakin rendah, oksigen
semakin tinggi, tingkat kecerahan semakin kecil, dan cahaya yang masuk ke dalam
suatu perairan untuk melangsungkan terjadinnya fotosintesis terhadap organisme
yang hidup akan terbatas, dan begitu pula sebaliknnya apabila suatu perairan
tingkat kedalamannya
rendah.
mau tanya dong, kira-kira nilai nutrien di perairan saat upwelling apakah selalu menyebabkan blooming pada plankton? kalw bisa di jawab, terima kasih, dan saya juga berharap bisa mendapatkan jurnal atw literaturedari bahan anada.
ReplyDelete