A. KONSERVASI LAUT DAN JENIS-JENISNYA
Laut merupakan ekosistem yang paling
besar dan stabil. Laut diperkirakan merupakan ekosistem pertama karena menurut
sebuah teori, semua kehidupan di alam ini berasal dari laut. Seperti yang telah
dijelaskan pada pendahuluan di atas, sebagian besar permukaan bumi ditutupi
oleh laut sehingga laut adalah tempat yang paling banyak ditempati oleh
organism baik itu hewan maupun tumbuhan.
Pada awalnya laut memberikan andil
yang cukup besar pada kehidupan. Namun karena adanya eksploitasi secara
besar-besaran, fungsi laut menjadi semakin berkurang. Oleh sebab itu perlu
diadakan pelestarian terhadap ekosistem laut seperti melakukan konservasi.
1.
Pengertian
konservasi
Konservasi dalam bahasa inggris
disebut conservation yang artinya pengawetan atau perlindungan alam.
Konservasi adalah upaya yang dilakukan untuk pemeliharaan dan pengembangan alam
menurut status aslinya. Dengan kata lain dalam konservasi laut diharapkan agar
mampu untuk melindungi dan mengembangkan sumberdaya yang ada dilaut baik berupa
hewan, tumbuhan, dan lain-lain sehingga tercipta alam laut yang alami tanpa
diusik oleh tangan-tangan usil manusia.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia
konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk
mencegah kerusakan dan kemusnahan dng jalan mengawetkan; pengawetan;
pelestarian; proses menyaput bagian dalam badan mobil, kapal, dsb untuk
mencegah karat
Sedangkan
menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah :
1. Upaya
efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang
berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang
sama tingkatannya.
2. Upaya
perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya
alam
3. (fisik)
Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kiamia
atau transformasi fisik.
4. Upaya
suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan
5. Suatu
keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara
keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan
lingkungan alaminya.
Kawasan
konservasi mempunyai karakteristik sebagaimana berikut:
1. Karakteristik,
keaslian atau keunikan ekosistem (hutan hujan tropis/’tropical rain forest’
yang meliputi pegunungan, dataran rendah, rawa gambut, pantai)
2. Habitat
penting/ruang hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan fauna) khusus:
endemik (hanya terdapat di suatu tempat di seluruh muka bumi), langka, atau
terancam punah (seperti harimau, orangutan, badak, gajah, beberapa jenis burung
seperti elang garuda/elang jawa, serta beberapa jenis tumbuhan seperti ramin).
Jenis-jenis ini biasanya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
3. Tempat
yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah alami.
4. Lansekap
(bentang alam) atau ciri geofisik yang bernilai estetik/scientik.
5. Fungsi
perlindungan hidro-orologi: tanah, air, dan iklim global.
6. Pengusahaan
wisata alam yang alami (danau, pantai, keberadaan satwa liar yang menarik).
Dalam menentukan kawasan konservasi,
ada hal-hal yang harus diperhatikan kriterianya(MacKinon,1990) yaitu:
1. Karakteristik
keunikan ekosistem, seperti misalnya penyu,
2. Spesies
yang diminati, nilai kelangkaan atw terancam.
3. Tempat
yang memiliki keanekaragaman spesies
4. Ciri
geofisik yang bernilai sumber pengetahuan atau estetis.
5. Fungsi
perlindungan hidrologi, oseonografi,
Jadi konservasi ekosistem laut
merupakan upaya untuk melindungi dan mengembangkan potensi ekosistem yang ada
di laut dan factor-faktor yang mempengaruhinya sehingga tercipta kelestarian
ekosistem.
2.
Jenis-jenis
konservasi ekosistem laut di indonesia
a.
Konservasi
Ekositem Pantai
Pantai merupakan ekosistem yang
terletak antar garis air surut terendah dengan air pasang tertinggi. Ekosistem
ini berkisar dari daerah rendah yang substratnya berbatu dan berkerikil (yang
mengandung flora dan fauna dalam jumlah terbatas) hingga
daerah berpasir aktif (dimana populasi bakteri, protozoa, dan metozoa
ditemukan) serta daerah yang bersubstrat liat dan lumpur (dimana ditemukan
sejumlah besar komunitas binatang yang jarang muncul ke permukaan).
Banyak diantara pantai-pantai di
Indonesia yang mengalami abrasi, mulai dari yang tingkat abrasinya rendah,
sedang, sampai yang tingkat abrasinya parah/tinggi. Dalam upaya mengatasi
abrasi ini sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan cara-cara dan melakukan
tindakan yang berwawasan konservasi, tidak lagi hanya dengan melakukan upaya
yang sifatnya sementara saja. Pencegahan ataupun penanggulangan abrasi dengan
berwawasan konservasi ini tentunya akan memberikan berbagai keuntungan bagi lingkungan
(alam) yang akan membawa banyak imbas positif dalam kehidupan manusia. Salah
satu cara mencegah ataupun mengatasi abrasi yaitu dengan cara penanaman bakau.
Sebenarnya telah banyak orang yang mengetahui fungsi dan kegunaan hutan bakau
bagi lingkungan. Namun dalam prakteknya di lapangan, masih banyak pula yang
belum memanfaatkan hutan bakau sebagai sarana untuk mencegah atau mengatasi
abrasi.
Yang sering terlihat, dalam usaha
mengatasi abrasi di daerah pantai, pemerintah di beberapa daerah melakukan
kebijakan pencegahan abrasi dengan membangun pemecah gelombang buatan di
sekitar pantai dengan maksud untuk mengurangi abrasi yang terjadi tanpa
dibarengi dengan usaha konservasi ekosistem pantai (seperti penanaman bakau
dan/atau konservasi terumbu karang). Akibatnya dalam beberapa tahun kemudian
abrasi kembali terjadi karena pemecah gelombang buatan tersebut tidak mampu
terus-menerus menahan terjangan gelombang laut. Namun payahnya, seringkali
pengalaman tersebut tidak dijadikan pelajaran dalam menetapkan kebijakan
selanjutnya dalam upaya mencegah ataupun mengatasi abrasi. Yang sering terjadi
di lapangan, ketika pemecah gelombang telah rusak, lagi-lagi pemerintah
setempat membangun pemecah geombang buatan dan lagi-lagi tanpa dibarengi dengan
penanaman bakau atau konservasi terumbu karang yang rusak. Hal tersebut
seakan-akan menjadi suatu rutinitas yang bila difikir lebih jauh, tetunya hal
tersebut akan berimbas terhadap dana yang harus dikeluarkan daerah setempat.
Seandainya, dalam mengatasi abrasi
tersebut kebijakan yang diambil pemerintah yaitu dengan membangun pemecah
gelombang buatan (pada awal usaha mengatasi abrasi atau jika kondisi abrasi
benar-benar parah dan diperlukan tindakan super cepat) dengan dibarengi
penanaman bakau di sekitar daerah yang terkena abrasi atau bahkan bila
memungkinkan dibarengi pula dengan konservasi terumbu karang, tentunya
pemerintah setempat tidak perlu secara berkala terus menerus membangun pemecah
gelombang yang menghabiskan dana yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan dalam
beberapa tahun sejak penanaman, tanaman-tanaman bakau tersebut sudah cukup
untuk mengatasi atau mengurangi abrasi yang terjadi.
b.
Konservasi
ekosistem estuari
Estuari merupakan suatu perairan
semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan
laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air
laut.
Salah satu bagian wilayah pesisir
yang memiliki tingkat kesuburan cukup tinggi adalah estuaria (muara sungai).
Daerah ini merupakan ekosistem produktif yang setara dengan hutan hujan tropik
dan terumbu karang, karena perannya adalah sebagai sumber zat hara, memiliki
komposisi tumbuhan yang beragam sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung
sepanjang tahun, serta sebagai tempat terjadinya fluktuasi permukaan air akibat
aksi pasang surut. Kondisi ekosistem yang produktif ini kemudian menjadikannya
sebagai salah satu wilayah yang memiliki tingkat produktifitas tinggi.
Produktifitas merupakan suatu proses produksi yang menghasilkan bahan organik
yang meliputi produktifftas primer ataupun sekunder. Produktifitas primer pada
wilayah estuaria dapat di artikan sebagai banyaknya energi yang diikat atau
tersimpan dalam aktifltas fotosintesis dari organisme produser, terutama
tanaman yang berklorofil dalam bentuk-bentuk substansi organik yang dapat
digunakan sebagai bahan makanan. Produktifftas ini dilakukan oleh organisme
‘outotroph’ seperti juga semua tumbuhan hijau mengkonversi energi cahaya ke
dalam energi biologi dengan fiksasi karbondioksida, memisahkan molekuler air
dan memproduksi karbohidrat dan oksigen.
Estuari merupakan wilayah yang
sangat dinamis (dynamics area), rentan terhadap perubahan dan kerusakan
lingkungan baik fisik maupun biologi (ekosistem) dari dampak aktifitas manusia
di darat ataupun pemanfaatan sumberdaya perairan laut secara berlebihan
(over-exploited). Beberapa hal yang dimungkinkan menjadi sumber kerusakan dan
perubahan fisik lingkungan wilayah estuaria antara lain:
ü Semakin
meningkatnya penebangan hutan dan jeleknya pengelolaan lahan di darat, dapat
meningkatkan sedimentasi di wilayah estuaria. Llaju sedimentasi di wilayah
pesisir yang melalui aliran sungai bisa dijadikan sebagai salah satu indikator
kecepatan proses kerusakan pada wilayah lahan atas, sehingga dapat
menggambarkan kondisi pada wilayah lahan atas. Sedimen yang tersuspensi
masuk perairan pantai dapat membahayakan biota laut, karena dapat menutupi
tubuh biota laut terutama bentos yang hidup di dasar perairan seperti rumput
laut, terumbu karang dan organisme lainnya. Meningkatnya kekeruhan akan
menghalangi penetrasi cahaya yang digunakan oleh orgnisme untuk pemapasan atau
berfotosintesis. Banyak-nya sedimen yang akhirnya terhenti atau terendapkan di
muara sungai dapat mengubah luas wilayah pesisir secara keseluruhan, seperti terjadinya
perubahan garis pantai, berubahnya mulut muara sungai, terbentuknya delta baru
atau tanah timbul, menurunnya kualitas perairan dan biota-biota di muara
sungai.
ü Pola
pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang tidak memperhatikan daya dukung
produktifitas pada suatu kawasan estuaria, seperti sumberdaya perikanan,
sehingga kawasan muara sungai tersebut terus mendapat tekanan dan menyebabkan
menurunnya produktifitasnya
ü Meningkatnya
pembangunan di lahan atas (up-land) menjadi kawasan Industri, pemukiman, pertanian
menjadikan sumber limbah yang bersama-sama dengan aliran sungai akan
memperburuk kondisi wilayah estuaria. Lebih dan 80% bahan pencemar yang
ditemukan di wilayah pesisir dan laut berasal dari kegiatan manusia di darat
UNEP (1990).
ü Kegiatan-kegiatan
kontruksi yang berkaitan dengan usaha pertanian, seperti pembuatan saluran
irigasi, drainase dan penebangan hutan akan mengganggu pola aliran alami daerah
tersebut. Gangguan ini meliputi aspek kualitas, volume, dan debit air.
Pengurangan debit air yang di alirkan bagi irigasi, dapat mengubah salinitas
dan pola sirkulasi air di daerah estuaria dan menyebabkan jangkauan intrusi
garam semakin jauh ke hulu sungai. Hal ini akan mengakibatkan perubahan pada
sebagian ekosistem perairan pantai itu sendiri, juga pada ekosistem daratan di
sekitar perairan tersebut sehingga berakibat intrusi air laut pada air tanah.
Ancaman terhadap ekosistem
estuaria memilki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan organisme yang
berada pada daerah tersebut. Ancaman ekosistem estuaria di antaranya adalah
ancaman pendangkalan, pencemaran, dan ancaman Eutrofikasi. Setiap ancaman memiliki
solusi dan penaggulangan masing-masing. Seperti penanggulangan Pendangkalan di
lakukan dengan cara reboisasi gunung tandus agar tidak terjadi erosisi yang
dapat mempercepat laju sedimentasi dan mengakibatkan pendangkalan. Ancaman
pencemaran di tanggulangidenga beberapa cara di antaranya sosialasi kepada
masyarakat akanpentingnya ekosisitem estuaria sehingga masyarakat tidak
membuangsampah di daerah estuaria. Penanggulangan Eutrofikasi di
negara-negaramaju masyarakat yang sudah memiliki kesadaran lingkungan
( green consumers ) hanya membeli produk kebutuhan rumah sehari
-hari yang mencantumkan label"phosphate free" atau
"environmentally friendly". Cara lain yang harus ditempuh adalah:
1. Memperbaiki
Daerah Lahan Atas (up-land)
Upaya yang dapat dilakukan dalam
mengurangi dampak kerusakan pada ekosistem perairan wilayah estuaria yaitu
dengan menata kembali sistem pengelolaan daerah atas. Khususnya penggunaan
lahan pada wilayah daratan yang memiliki sungai. Jeleknya pengelolaan lahan
atas sudah dapat dipastikan akan merusak ekosistem yang ada di perairan pantai.
Oleh karena itu, pembangunan lahan atas harus memperhitungkan dan
mempertimbangkan penggunaan lahan yang ada di wilayah pesisir. Jika penggunaan
lahan wilayah pesisir sebagai lahan perikanan tangkap, budidaya atau konservasi
maka penggunaan lahan atas harus bersifat konservatif. Perairan pesisir yang
penggunaan lahannya sebagai lahan budidaya yang memerlukan kualitas perairan
yang baik maka penggunaan lahan atas tidak diperkenankan adanya industri yang
memproduksi bahan yang dapat menimbulkan pencemaran atau limbah. Limbah sebelum
dibuang ke sungai harus melalui pengolahan terlebih dahulu sesuai dengan baku
mutu yang telah ditetapkan.
2. Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Secara Optimal
2. Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Secara Optimal
Wilayah estuaria yang berfungsi
sebagai penyedia habitat sejumlah spesies untuk berlindung dan mencari makan
serta tempat reproduksi dan tumbuh, oleh karenanya di dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan khususnya di wilayah estuaria diperlukan tindakan-tindakan
yang bijaksana yang berorientasi pemanfaatan secara optimal dan lestari. Pola
pemanfatan sebaiknya memperhatikan daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Perlindungan hutan mangrove pada
wilayah estuaria sangat penting, karena selain mempunyai fungsi ekologis juga
ekonomis. Secara ekologis hutan mangrove adalahsebagai penghasil sejumlah besar
detritus dari serasah, daerah asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding
ground) dan sebagai tempat pemijahan (spawning ground). Secara fisik, hutan
mangrove dapat berperan sebagai filter sedimen yang berasal dari daratan
melalui sistem perakarannya dan mampu meredam terpaan angin badai. Secara
ekonomis, dalam konser-vasi hutan mangrove juga akan diperoleh nilai ekonomis
sangat tinggi. Nilai ekonomi total rata-rata sekitar Rp 37,4 juta/ha/tahun yang
meliputi manfaat langsung (kayu mangrove), manfaat tidak langsung (serasah
daun, kepiting bakau, nener bandeng ikan tangkap dan ikan umpan), option value
dan existence value. Upaya konservasi tersebut juga mempunyai nilai dampak
positip terhadap sosial-ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah
estuaria, yaitu mampu memberikan beberapa alternatif jenis mata pencaharian dan
pendapatan.
d.
Konservasi
mangrove dan bakau
Mangrove/bakau merupakan komunitas
vegetasi pantai tropis yang khas tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut
pantai berlumpur, berpasir, atau muara sungai, seperti pohon api-api (Avicennia
spp), bakau (Rhizophora spp), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera),nyirih
(Xylocarpus), tengar (Ceriops) dan buta buta (Exoecaria).
Ekosistem mangrove sebagai ekosistem
peralihan antara darat dan laut telah diketahui mempunyai berbagai fungsi,
yaitu sebagai penghasil bahan organik, tempat berlindung berbagai
jenis binatang, tempat memijah berbagai jenis ikan dan udang, sebagai pelindung
pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar,
kayu arang, dan tanin (Soedjarwo, 1979). Masing-masing kawasan pantai dan
ekosistem mangrove memiliki historis perkembangan yang berbeda-beda. Perubahan
keadaan kawasan pantai dan ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor
alamiah dan faktor campur tangan manusia.
Hutan mangrove merupakan ekosistem
yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis.
Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah
intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding
ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan
(spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim
mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah
tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Hutan mangrove adalah hutan yang
terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara
teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut
tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan
yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan
laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8%
(Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove
adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas
pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas
atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Hutan mangrove meliputi pohon- pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8
famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie,
Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,
2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti,
pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan
yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua
sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak
rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas
hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat
sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali
(1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau
merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Ciri
dan Karakteristik Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove hanya didapati di
daerah tropik dan sub-tropik. Ekosistem mangrove dapat berkembang dengan
baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologik sebagai berikut;
ü Jenis
tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang
berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang;
ü Lahannya
tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada
saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi
ekosistem mangrove itu sendiri;
ü Menerima
pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang
berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur;
ü Suhu
udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata di bulan
terdingin lebih dari 20ºC;
ü Airnya
payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt;
ü Arus
laut tidak terlalu deras;
ü Tempat-tempat
yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat
ü Topografi
pantai yang datar/landai.
Habitat dengan ciri-ciri ekologik
tersebut umumnya dapat ditemukan di daerah-daerah pantai yang dangkal,
muara-muara sungai dan pulau-pulau yang terletak pada teluk. Ekosistem
mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya
(Snedaker, 1978) yang memberikan kontribusi terhadap produktivitas ekosistem pesisi
(Harger, 1982). Dalam hal ini beberapa fungsi ekosistem mangrove adalah
sebagai berikut:
ü Ekosistem
mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding
ground), tempat berkembang biak berbagai jenis krustasea, ikan,
burung biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan tumbuhan epifit dan parasit
seperti anggrek, paku pakis dan tumbuhan semut, dan berbagai
hidupan lainnya;
ü Ekosistem
mangrove sebagai penghalang terhadap erosi pantai, tiupan angin kencang dan
gempuran ombak yang kuat serta pencegahan intrusi air laut;
ü Ekosistem
mangrove dapat membantu kesuburan tanah, sehingga segala macam biota perairan
dapat tumbuh dengan subur sebagai makanan alami ikan dan binatang laut lainnya;
ü Ekosistem
mangrove dapat membantu perluasan daratan ke laut dan pengolahan limbah
organik;
ü Ekosistem
mangrove dapat dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan, udang dan kepiting
mangrove dalam keramba dan budidaya tiram karena adanya aliran sungai atau
perairan yang melalui ekosistem mangrove;
ü Ekosistem
mangrove sebagai penghasil kayu dan non kayu;
ü Ekosistem
mangrove berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi .
Karena fungsi dari ekosistem
mangrove ini yang demikian kompleks maka sebagai agent of change diatas bumi
ini, manusia perlu untuk melakukan konservasi. Melihat betapa
pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan manusia
dibutuhkan kesadran dalam menjaga keseimbangan kelestarian ekosistem mangrove.
Untuk itu dibutuhkan strategi yang efektif dalam rangka perencanaan dan
pengelolaan pembangunan ekosistem hutan mangrove. Hal ini sudah menjadi
konsekuensi terhadap responsibility pemerintah dan masyarakat untuk
melestarikan potensi kekayaan laut. Lahirnya kebijakan yang sentralistik
dianggap telah menghasilkan paradigma pembangunan yang reaktif merupakan
semangat untuk mewujudkan tatanan masyarakat partisipatif di era otonomi
daerah. Otonomi daerah merupakan kemampuan menyediakan ruang publik yang lebar
bagi munculnya partisipasi masyarakat di dalamnya, tidak hanya secara pasif
dimana partisipasi tersebut ditentukan oleh struktur kekuasaan di atasnya juga
secara aktif dimana masyarakat memahami sepenuhnya atas kebutuhan-kebutuhannya,
kemudian memilih, merumuskan dan mengupayakan agar dapat tercapai. Adapun
strategi konservasi yang ditawarkan yaitu dengan menggunakan metode
"6R". Di bawah ini adalah tahap atau perencanaan pembangunankonservasi ekosistem mangrove terdiri
dari:
1. Restorasi,
dimaksudkan sebagai upaya untuk menata kembali kawasan mangrove sekaligus
melakukan aktivitas penghijuan. untuk melakukan restorasi perlu memperhatikan
pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah, dan pemilihan spesies
2. Reorientasi,
dimaksudkan sebagai sebuah perencanaan pembangunan yang berparadigma
berkelanjutan sekaligus berwawasan lingkungan. Sehingga motif ekonomi yang
cenderung merusak akan mampu diminimalisasi
3. Responsivitas,
dimaksudkan sebagai sebuah upaya dari pemerintah yang peka dan tanggap terhadap
problematika kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini dapat ditempuh melalui
gerakan kesadaran pendidikan dini, maupun advokasi dan riset dengan berbagai
lintas disiplin keilmuan
4. Rehabilitasi,
gerakan rehabilitasi dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembalikan peran
ekosistem mangrove sebagai penyangga kehidupan biota laut. Salah satu wujud
kongkrit pelaksanaan rehabilitasi yaitu dengan menjadikan kawasan mangrove
sebagai area konservasi yang berbasis pada pendidikan (riset) dan
ekowisata
5. Responsibility,
dimaksudkan sebagai upaya untuk menggalang kesadaran bersama sekaligus
meningkatkan partisipasi masyarakat. Wujud kongkritnya yaitu mengoptimalkan
Kelompok Tani Mangrove.
6. Regulasi,
yang membehas tentang pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
Akan tetapi implementasi Perda tersebut tidak berjalan secara efektif masih
banyak pengambilan terumbu karang maupun perusakan kawasan mangrove yang
diperuntukkan bagi pembangunan pemukiman. Oleh sebab itu dalam kerangka
pembuatan kebijakan hendaknya memperhatikan efektifitas keberlakuan hukum
antara lain substansi, kultur, dan aparatur
thanks udah sharing yah
ReplyDeletesindo internasional